Senin, 03 Maret 2008

Kematian Hati

Oleh: Alm. K.H. Rahmat Abdullah

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih.Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu. Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang. Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidak tahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?

Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU , 25% mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat" ? Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana ?

Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justeru engkau akan dihadang tantangan : sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu. Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng engatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah? Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya". Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku". Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri. Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk.
Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi selera-ku"

Tausyiah indah dari sang guru untuk menjadi perenungan bagi diri yang dhoif & hati yg penuh noda ini..
Allahu Rabbuna..
Bimbing kami dalam cahaya-Mu

Tajarrud (Totalitas)

Siapapun yang telah berazam dan ‘meneken kontrak’ menjadikan jihad dan dakwah sebagai jalan hidupnya, lalu berfikir dapat keluar dari kesibukannya untuk sejenak mengambil nafas dan jarak terhadapnya, maka ia adalah penabur benih yang akan ditunainya dalam panen raya kekecewaan dan penyesalan.

Kecewa karena selalu mengenyam rasa pahit, perih dan terbebankan dalam berkorban dan menyesal karena hidup santai, sikap cari selamat dan menghindar dari pengorbanan telah mengalahkan totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan sikap dakwahnya. Kelezatan berkorban yang seharusnya jadi impian setiap da’i seyogyanya dapat diraihnya langsung dari mujahadah (usaha keras), qana’ah (rasa penerimaan) dan ridha menghadapi segala cobaan di jalan dakwah. Bukankah seraut wajah remaja tampan Yusuf begitu memikat bagi perempuan-perempuan Mesir, sampai mereka tak merasakan sakitnya mengiris-iris jari sendiri?


Kalau ada sesuatu yang sangat menyita perhatian dan menuntut pengorbanan, itulah cinta. Tak ada bukit yang cukup tinggi, tak ada lautan yang cukup dalam, tak ada luka yang cukup pedih bila cinta kekasih telah memenuhi seluruh relung hati.

Ya, bayangan kekasih merambat malam-malam

Membuatku begadang

Dan cinta menghadang sakit dengan segala senang

(Al Bushiri, Burdah)

Betapa kerinduan Al Khalil Ibrahim alaihissalam meradang meniti kurun usia lebih dari sepuluh windu, sampai Allah memberinya Ismail ‘alaihissalam, putera yang lurus lagi suci. Belum lagi puas menimang buah hati sibiran tulang, ia harus mengarungi ribuan mil padang pasir tandus arah selatan untuk meletakkan anak dan isterinya di lembah yang tak bertanaman, di sisi rumah-Nya yang dimuliakan (QS. Ibrahim: 37). Tanpa sanak saudara, tanpa tetangga, tanpa penduduk, tanpa lahan pertanian, selain sekantung makanan dan minuman yang hanya cukup untuk hari itu. Adakah tafsir lain dapat memaknai semua ini selain keinginan Allah untuk menjadikannya khalil (kekasih sehabis kasih), yang hatinya hanya boleh terisi oleh satu kata: Allah.

Mental Ayam Negeri dan Medan Da’wah yang Keras

Dakwah telah dikenal bertabiat "thuulu’t thariq, katsratu’aqabat dan qillatur rijal" (jalanannya panjang, hambatannya banyak dan tokoh pendukungnya sedikit). Bila da’inya bermental ayam negeri yang tak tahan angin, mudah kena sampar dan mengandalkan jatah makanan olahan, maka kiamat dakwah sudah terdengar serunainya.

Ada saat Abu Bakar mengeluarkan dana besar untuk membebaskan budak, sebagai wujud ukhuwah dan pancaran kematangan iman. Ada saat Rasulullah SAW memberikan pembelaan dengan sejumlah kata, karena kata itulah yang diperlukan dan kata itulah yang dapat ditemukan. Itulah saat beliau menjawab rintihan Khabbab yang remuk disiksa musyrikin Quraisy. "Orang-orang sebelum kalian digergaji kepala mereka sampai terbelah dari kepala hingga bagian bawah tubuhnya. Ada yang disisir dengan sisir besi, menusuk ke bawah kulit dan daging, semua itu tak berhasil menjauhkan mereka dari iman. Demi Allah, Ia pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang pengendara dapat berjalan sendirian melintas padang pasir dari Shana’a ke Hadhramaut, tak satupun yang ditakutinya kecuali Allah, tetapi kalian tergesa-gesa."

Sedikit di antara mereka yang berjalan di atas permadani, makanan dari roti lembut dan tidur nyenyak di atas tilam sutera, mampu mengubah dunia dengan perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Pilihan hanya satu, tauhid atau syirk, taat atau maksiat.

Aku tak peduli ketika dibunuh sebagai muslim

jasadku jatuh dimana.

Bila Tuhan menghendaki dengan izin-Nya

Ia akan berkahi kepingan tubuh yang koyak

(Abdulah bin Rawahah, RA)

Ketika pembebasan telah terjadi, seorang aktifis dakwah hanya punya satu pilihan, dakwah atau tidak sama sekali. Ketinggian adab mereka kepada Allah sampai membuat mereka merasakan malu kepada-Nya untuk berfikir, bertindak atau berkhayal di luar syariah. Mereka orang dengan langkah berderap di bumi sedang jiwa mereka melayang di langit.

Tajarrud dan Fanatisme Buta

Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sektarian atau fundamentalis, padahal para penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan.

Ketika dengan kejernihan bashirah (mata hati), ketajaman argumentasi dan pertanda-pertanda yang tak dapat diragukan, seharusnya mereka maju, karena para pembela kebatilan membelanya dengan yakin, bangga dan penuh percaya diri. Ada sejenis kecurangan, dusta dan kepengecutan, ketika para penuduh itu melancarkan vonis-vonis sejenis itu. Mereka adalah fanatikus, setidaknya dalam menyerang apa yang mereka sebutkan sebagai fanatisme. Siapa yang tidak berpegangan kepada suatu, termasuk pada penolakan atas sesuatu tanpa bashirah, ia adalah fanatikus. Jadi mereka sebenarnya bermusuhan dengan diri mereka sendiri, bukan dengan siapa-siapa.

Tajarrud, istilah dakwah bagi totalitas memberikan ruang seluas-luasnya bagi para da’i untuk berkiprah. Bila ia tak punya lagi orbit tempat beredar, maka ia harus menjadi orbit dan kutub, memimpin lingkungan dalam gerak keabadian ibadah. Inilah yang dilakukan Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq, radhiyallahu ‘anhu. Ayat 144 surat Ali Imran yang dibacakannya untuk mengingatkan hakekat kehidupan, betapa Muhammad SAW tetaplah seorang Rasul manusia, ada batas bagi hidupnya. Namun lebih dari itu, ayat tersebut bermakna, risalah tak boleh berhenti, aspek pemerintahan, peradilan dan berbagai tugas yang diperankan Rasululah SAW -kecuali menerima wahyu- tetap harus berjalan.

Para "Desertir"

Ketika seorang santri, kyai atau da’i mulai menjalani dakwahnya dengan perasaan jenuh, syetan mulai menyusupkan lupa akan tabiat dakwahnya. Berikutnya bila tak ditemukan penawar awal ia akan kehilangan rasa santun, kasih, baik sangka dan empati. Di mulutnya mulai kelihatan duri. Di matanya banyak wajah nampak menyeringai. Di telinganya lidah ular mendesis-desis. Di hatinya, semua orang yang berbeda adalah musuh yang harus dibantai.

Lihatlah Bal’am yang kisahnya harus dibacakan dan riwayatnya harus dikisahkan tak beroleh manfaat apapun dari ilmunya yang banyak dan mendalam tentang ayat-ayat (QS. Al-Araf: 175-176). Bagaikan anjing, ia selalu menjulur. Sorongkan tangan yang dengan jam, cincin dan segala perhiasan yang bernilai miliaran dan lemparkan jauh-jauh sekerat tulang dengan sedikit daging. Ia tak akan terpesona memandang kilau perhiasan, melainkan berlari sejauh-jauhnya untuk mengejar tulang. Bahkan kerap terjadi ia akan terjun ke kolam merebut tulang dari mulut rekan yang tak lain dari bayang-bayang dirinya sendiri.

Mulialah ahli Madinah, kaum Anshar yang lebih mencintai saudara mereka sendiri kaum Muhajirin, pengikut jujur dakwah. Belum lagi sang Rasul berhijrah ke negeri mereka, setiap rumah Madinah sudah rata memiliki banyak penghuni muslim. "Fi kulli duri’l anshar khair", di setiap rumah Anshar selalu ada kebajikan", demikian pesan Rasulullah SAW.

Salman Al Farisi tak kehilangan tajarrudnya dengan mengusulkan taktik pertahanan Khandaq, benteng galian yang biasa dibuat bangsanya di tanah Persia. Ummu Salamah juga tetap dalam keutuhan tajarrudnya ketika menceritakan patung-patung yang dilihatnya di negeri Habsyah. Pun Rasulullah SAW tak meragukan keimanan Umar bin Khattab yang membawa selembar Taurat dari teman Yahudinya. Juga tidak meragukan Ummu Salamah dengan’cita rasa’ seninya yang tinggi. Tetapi pendidikan tajarrud yang kita dapatkan dari berbagai peristiwa sejarah telah mengajarkan kita betapa aspek ini tak dapat disikapi ringan, apalagi main-main. Wallahu’alam.



sumber: beranda.blogsome