Senin, 03 Maret 2008

Tajarrud (Totalitas)

Siapapun yang telah berazam dan ‘meneken kontrak’ menjadikan jihad dan dakwah sebagai jalan hidupnya, lalu berfikir dapat keluar dari kesibukannya untuk sejenak mengambil nafas dan jarak terhadapnya, maka ia adalah penabur benih yang akan ditunainya dalam panen raya kekecewaan dan penyesalan.

Kecewa karena selalu mengenyam rasa pahit, perih dan terbebankan dalam berkorban dan menyesal karena hidup santai, sikap cari selamat dan menghindar dari pengorbanan telah mengalahkan totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan sikap dakwahnya. Kelezatan berkorban yang seharusnya jadi impian setiap da’i seyogyanya dapat diraihnya langsung dari mujahadah (usaha keras), qana’ah (rasa penerimaan) dan ridha menghadapi segala cobaan di jalan dakwah. Bukankah seraut wajah remaja tampan Yusuf begitu memikat bagi perempuan-perempuan Mesir, sampai mereka tak merasakan sakitnya mengiris-iris jari sendiri?


Kalau ada sesuatu yang sangat menyita perhatian dan menuntut pengorbanan, itulah cinta. Tak ada bukit yang cukup tinggi, tak ada lautan yang cukup dalam, tak ada luka yang cukup pedih bila cinta kekasih telah memenuhi seluruh relung hati.

Ya, bayangan kekasih merambat malam-malam

Membuatku begadang

Dan cinta menghadang sakit dengan segala senang

(Al Bushiri, Burdah)

Betapa kerinduan Al Khalil Ibrahim alaihissalam meradang meniti kurun usia lebih dari sepuluh windu, sampai Allah memberinya Ismail ‘alaihissalam, putera yang lurus lagi suci. Belum lagi puas menimang buah hati sibiran tulang, ia harus mengarungi ribuan mil padang pasir tandus arah selatan untuk meletakkan anak dan isterinya di lembah yang tak bertanaman, di sisi rumah-Nya yang dimuliakan (QS. Ibrahim: 37). Tanpa sanak saudara, tanpa tetangga, tanpa penduduk, tanpa lahan pertanian, selain sekantung makanan dan minuman yang hanya cukup untuk hari itu. Adakah tafsir lain dapat memaknai semua ini selain keinginan Allah untuk menjadikannya khalil (kekasih sehabis kasih), yang hatinya hanya boleh terisi oleh satu kata: Allah.

Mental Ayam Negeri dan Medan Da’wah yang Keras

Dakwah telah dikenal bertabiat "thuulu’t thariq, katsratu’aqabat dan qillatur rijal" (jalanannya panjang, hambatannya banyak dan tokoh pendukungnya sedikit). Bila da’inya bermental ayam negeri yang tak tahan angin, mudah kena sampar dan mengandalkan jatah makanan olahan, maka kiamat dakwah sudah terdengar serunainya.

Ada saat Abu Bakar mengeluarkan dana besar untuk membebaskan budak, sebagai wujud ukhuwah dan pancaran kematangan iman. Ada saat Rasulullah SAW memberikan pembelaan dengan sejumlah kata, karena kata itulah yang diperlukan dan kata itulah yang dapat ditemukan. Itulah saat beliau menjawab rintihan Khabbab yang remuk disiksa musyrikin Quraisy. "Orang-orang sebelum kalian digergaji kepala mereka sampai terbelah dari kepala hingga bagian bawah tubuhnya. Ada yang disisir dengan sisir besi, menusuk ke bawah kulit dan daging, semua itu tak berhasil menjauhkan mereka dari iman. Demi Allah, Ia pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang pengendara dapat berjalan sendirian melintas padang pasir dari Shana’a ke Hadhramaut, tak satupun yang ditakutinya kecuali Allah, tetapi kalian tergesa-gesa."

Sedikit di antara mereka yang berjalan di atas permadani, makanan dari roti lembut dan tidur nyenyak di atas tilam sutera, mampu mengubah dunia dengan perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Pilihan hanya satu, tauhid atau syirk, taat atau maksiat.

Aku tak peduli ketika dibunuh sebagai muslim

jasadku jatuh dimana.

Bila Tuhan menghendaki dengan izin-Nya

Ia akan berkahi kepingan tubuh yang koyak

(Abdulah bin Rawahah, RA)

Ketika pembebasan telah terjadi, seorang aktifis dakwah hanya punya satu pilihan, dakwah atau tidak sama sekali. Ketinggian adab mereka kepada Allah sampai membuat mereka merasakan malu kepada-Nya untuk berfikir, bertindak atau berkhayal di luar syariah. Mereka orang dengan langkah berderap di bumi sedang jiwa mereka melayang di langit.

Tajarrud dan Fanatisme Buta

Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sektarian atau fundamentalis, padahal para penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan.

Ketika dengan kejernihan bashirah (mata hati), ketajaman argumentasi dan pertanda-pertanda yang tak dapat diragukan, seharusnya mereka maju, karena para pembela kebatilan membelanya dengan yakin, bangga dan penuh percaya diri. Ada sejenis kecurangan, dusta dan kepengecutan, ketika para penuduh itu melancarkan vonis-vonis sejenis itu. Mereka adalah fanatikus, setidaknya dalam menyerang apa yang mereka sebutkan sebagai fanatisme. Siapa yang tidak berpegangan kepada suatu, termasuk pada penolakan atas sesuatu tanpa bashirah, ia adalah fanatikus. Jadi mereka sebenarnya bermusuhan dengan diri mereka sendiri, bukan dengan siapa-siapa.

Tajarrud, istilah dakwah bagi totalitas memberikan ruang seluas-luasnya bagi para da’i untuk berkiprah. Bila ia tak punya lagi orbit tempat beredar, maka ia harus menjadi orbit dan kutub, memimpin lingkungan dalam gerak keabadian ibadah. Inilah yang dilakukan Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq, radhiyallahu ‘anhu. Ayat 144 surat Ali Imran yang dibacakannya untuk mengingatkan hakekat kehidupan, betapa Muhammad SAW tetaplah seorang Rasul manusia, ada batas bagi hidupnya. Namun lebih dari itu, ayat tersebut bermakna, risalah tak boleh berhenti, aspek pemerintahan, peradilan dan berbagai tugas yang diperankan Rasululah SAW -kecuali menerima wahyu- tetap harus berjalan.

Para "Desertir"

Ketika seorang santri, kyai atau da’i mulai menjalani dakwahnya dengan perasaan jenuh, syetan mulai menyusupkan lupa akan tabiat dakwahnya. Berikutnya bila tak ditemukan penawar awal ia akan kehilangan rasa santun, kasih, baik sangka dan empati. Di mulutnya mulai kelihatan duri. Di matanya banyak wajah nampak menyeringai. Di telinganya lidah ular mendesis-desis. Di hatinya, semua orang yang berbeda adalah musuh yang harus dibantai.

Lihatlah Bal’am yang kisahnya harus dibacakan dan riwayatnya harus dikisahkan tak beroleh manfaat apapun dari ilmunya yang banyak dan mendalam tentang ayat-ayat (QS. Al-Araf: 175-176). Bagaikan anjing, ia selalu menjulur. Sorongkan tangan yang dengan jam, cincin dan segala perhiasan yang bernilai miliaran dan lemparkan jauh-jauh sekerat tulang dengan sedikit daging. Ia tak akan terpesona memandang kilau perhiasan, melainkan berlari sejauh-jauhnya untuk mengejar tulang. Bahkan kerap terjadi ia akan terjun ke kolam merebut tulang dari mulut rekan yang tak lain dari bayang-bayang dirinya sendiri.

Mulialah ahli Madinah, kaum Anshar yang lebih mencintai saudara mereka sendiri kaum Muhajirin, pengikut jujur dakwah. Belum lagi sang Rasul berhijrah ke negeri mereka, setiap rumah Madinah sudah rata memiliki banyak penghuni muslim. "Fi kulli duri’l anshar khair", di setiap rumah Anshar selalu ada kebajikan", demikian pesan Rasulullah SAW.

Salman Al Farisi tak kehilangan tajarrudnya dengan mengusulkan taktik pertahanan Khandaq, benteng galian yang biasa dibuat bangsanya di tanah Persia. Ummu Salamah juga tetap dalam keutuhan tajarrudnya ketika menceritakan patung-patung yang dilihatnya di negeri Habsyah. Pun Rasulullah SAW tak meragukan keimanan Umar bin Khattab yang membawa selembar Taurat dari teman Yahudinya. Juga tidak meragukan Ummu Salamah dengan’cita rasa’ seninya yang tinggi. Tetapi pendidikan tajarrud yang kita dapatkan dari berbagai peristiwa sejarah telah mengajarkan kita betapa aspek ini tak dapat disikapi ringan, apalagi main-main. Wallahu’alam.



sumber: beranda.blogsome

Tidak ada komentar:

Posting Komentar