Selasa, 16 Desember 2008

Membangun Pemerintahan Islam Melalui Pemilihan Umum

Pada pemilihan Umum putaran pertama di AlJazair tanggal 26 Desember 1991, Front Pembebasan Islam (FIS) memperoleh 188 kursi (81% lebih) di parlemen. Saat itu muncul harapan bahwa FIS akan berhasil meraih suara mayoritas pada pemilihan putaran kedua. Atas keberhasilannya itu banyak pihak menduga bahwa presiden Al Jazair --sesuai dengan ketentuan undang-unadang dasar negara-- akan menyerahkan kekuasaannya kepada pemimpin FIS untuk membentuk kabinet baru. Kalau ini yang terjadi:
1. Bolehkah dalam keadaan seperti ini FIS membentuk suatu kabinet berlandaskan undang-undang sekuler, kemudian tunduk pada pemimpin negara republik sekuler? Apakah ini berarti telah ikut bekerja sama dengan suatu pemerintahan yang berlandaskan pada sistem kufur?
2. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara' telah mengharuskan pelaksanaan syari'at Islam secara utuh dan serentak (yakni tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, dan tidak secara bertahap). Penerapan ini tentunya memerlukan waktu, yang mungkin saja berbulan-bulan lamanya. Atau bisa juga penerapan tersebut ditempuh melalui rancangan undang-undang yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh parlemen. Apakah kedua proses ini dapat diterima secara syar'i?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih dahulu marilah kita perhatikan pokok-pokok ajaran syari'at yang begitu jelas dan diambil dari nash-nash Kitab dan Sunnah. Dimana pokok-pokok ajaran tersebut termasuk dalam "Ma'luumatun minaddiini bizhzharurah", artinya telah diketahui kedudukannya sebagai hal yang penting dalam agama secara pasti, yakni:

(1) Bahwa Islam wajib diterapkan secara sempurna pada setiap bagian-bagiannya.
(2) Bahwa Islam tidak boleh diterapkan secara parsial dengan mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya.
(3) Bahwa Pelaksanaan Islam harus dilakukan dengan segera dan serentak, bukan secara bertahap dan mengulur-ulur waktu.
(4) Bahwa kaum muslimin tidak diperbolehkan bekerjasama dalam pemerintahan yang berlandaskan sistem kufur dan thaghut.
Disamping itu, ada satu hal penting yang harus kita ingat bahwa negara-negara kafir berikut antek-anteknya dari penguasa kaum muslimin, tentunya tidak mungkin memberi kesempatan kepada kaum muslimin --khususnya yang berupaya untuk menegakkan khilafah, dan mengembalikan pelaksanaan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT-- untuk mengambil alih kekuasaan dengan jalan demokrasi/konstitusional. Juga bahwa setiap negeri mana saja, yang pemerintahnya, dan pihak yang menguasai angkatan bersenjatanya merupakan agen negara-negara kafir yang memeluk ide-ide kufur dan berusaha untuk menerapkannya, jelas tidak mungkin memberikan kesempatan pada kaum muslimin --khususnya mereka yang berupaya menegakkan khilafah dan mengembalikan pelaksanaan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah SWT-- untuk meraih kekuasaan dengan jalan demokrasi.
Pada waktu yang sama harus disadari pula bahwa jalan demokrasi, bukanlah jalan untuk menegakkan khilafah dan mengembalikan pelaksanaan hukum-hukum yang diturunkan Allah. Tetapi jalan yang harus ditempuh dalam hal ini adalah jalan yang pernah ditempuh Rasulullah dalam menegakkan pemerintahan Islam, yaitu melalui upaya "Thalabun Nushrah" (meminta pertolongan dan perlindungan dari pihak yang memegang kekuasaan; juga dari tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh). Sekalipun demikian tidak berarti bahwa meraih kekuasaan melalui ummat tidak perbolehkan, misalnya melalui pemilihan umum yang dilanjutkan dengan bai'at. Cara seperti ini diperbolehkan menurut syara', karena memang berbeda dengan demokrasi. 1)

-------------------
1)Sistem pemilihan umum di dalam Islam, walaupun di dalamnya terdapat persamaan dengan sistem demokrasi dari segihak memilih, bersuara, dan berpendapat, tetapi dalam sistem demokrasi, haktersebut ditetapkan oleh kebebasan (sistem liberal). Sementara di dalam Islam hak tersebutmerupakan syarat-syarat bagi aqad khalifah. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka sianggap pemilihanumum itu tidak sah secara syar'i. Berbeda halnya dengan sistem demokrasi yangmenganggap kebebasan dalam memilih dan bersuara hanya sekedar hak yang tidakdapat mempengaruhi hasil pemilihan umum. Apalagi hasil tersebut seringdimanipulasi, sebagaimana yang sering terjadi di banyak negeriIslam.Menghapuskan undang-undang dasar yang ada, membai'at Khalifah, danmemproklamirkan Islam sebagai sistem negara dan masyarakat. Jika FIS belum mampu menempuh jalan tersebut,maka mereka tidak boleh membentuk kabinet dan atau melibatkan diri dalam pemerintahan secara mutlak.
Sekarang, mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertanyaan pertama yang berbunyi:
"Dalam keadaan seperti ini, bolehkah secara syar'i membentuk suatu kabinet berlandaskan undang-undang sekuler, kemudian tunduk pada pemimpin negara republik sekuler? Apakah ini berarti telah ikut serta/kerja sama dengan suatu pemerintahan yang berlandaskan pada sistem kufur?"

Jawabnya adalah bahwa menurut syara', FIS tidak boleh menerima tawaran untuk membentuk kabinet baru berdasarkan undang-undang dasar sekuler, dan tunduk di bawah pimpinan republik yang menganut paham sekuler (Kalau memang berhasil, sekalipun dalam kenyataannya mereka telah dijegal melalui aksi kudeta oleh militer yang kemudian mengadakan penangkapan terhadap lebih dari 20.000 orang demonstran serta membubarkan FIS). Atas dasar ini maka menerima tawaran yang berdasarkan sistem sekuler tersebut merupakan bukti pengakuan terhadap sistem kufur yang akan menunjukkan keikut-sertaan mereka dalam sistem tersebut. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan oleh Islam, selama dua hal yang ditawarkan itu masih bertolak dari sistem demokrasi Barat dan FIS diharuskan terikat dengan kedua sistem tersebut.
Kendatipun gerakan FIS telah dibubarkan, tatapi secara teoritis FIS atau gerakan Islam manapun yang keadaannya sama, harus menolak tawaran membentuk kabinet pemerintahan yang masih sekuler dan menolak menduduki kursi dalam parlemen. Bahkan, disamping mereka harus berjuang untuk menciptakan kondisi yang membantu mereka mengambil alih kekuasaan dan segera mengumumkan berdirinya negara Islam, mereka juga harus segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Akan tetapi andai saja presiden Al Jazair meminta kepada FIS untuk mengambil alih pemerintahannya berdasarkan Islam, karena mereka telah meraih suara mayoritas dari rakyat Al Jazair yang suddah memeluk Islam dan sungguh-sungguh menginginkan sebuah pemerintahan Islam, maka dalam kondisi seperti ini FIS boleh menerima mandat-mandat tersebut dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk pengambil-alihan tersebut. Pelaksanaannya sebagai berikut:
Pertama: Mereka memilih seorang Amir untuk menjadi kepala negara sementara Al-Jazair, hingga terselenggaranya pemilihan umum untuk mengangkat seorang khalifah dan membai'atnya.
Kedua: Amir sementara tersebut meminta parlemen untuk segera mengesahkan terhapusnya UUD yang berlaku dan menggantinya dengan Islam sebagi satu-satunya sistem untuk negara dan masyarakat.
Ketiga: Amir sementara tersebut kemudian mengambil tindakan yang diperlukan untuk memilih Khalifah dan membai'atnya.
Jika hal ini telah terlaksana, maka tugas Amir tersebut telah berakhir dan diganti dengan Khalifah yang akan memproklamirkan konstitusi bagi khilafah Islam yang diambil dari Kitab dan Sunnah Nabi. Kendatipun sebelum mengumumkan konstitusi tersebut dan menetapkannya, boleh saja ia meminta tanggapan anggota-anggota parlemen, yang namanya akan berubah menjadi majlisul Ummah atau majlis asy Syura, meskipun tanggapan mereka tidak memaksa khalifah untuk mengikutinya (boleh diterima boleh tidak, karena wewenang menetapkan UUD ada di tangan khalifah saja).
Dengan cara yang demikian pengambilan kekuasaan tersebut tidak bertentangan dengan Islam, dan kekuasaan akan beralih dari kekuasaan kufur kepada hukum Islam. Negaranya pun berubah dari Darul kufur menjadi Darul Islam. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika FIS telah berhasil mendapat dukungan dari pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan (misalnya Militer, pejabat, tokoh-tokoh Masarakat dan sebagainya), disamping meraih suara mayoritas kaum muslimin AlJazair. Namun apa yang dapat dilakukan sekarang ini setelah impian FIS dilenyapkan?

Adapun pertanyaan kedua, yang berbunyi: "Bahwa syara' telah mengharuskan pelaksanaan syari'at Islam secara utuh dan serentak (yakni tidak mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, serta tidak secara bertahap). Hanya saja penerapan ini tentunya memerlukan waktu yang bisa jadi berbulan-bulan lamanya. Bisa juga penerapan tersebut dapat ditempuh pula melalui rancangan undang-undang yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh parlemen. Apakah kedua proses di atas dapat ditempuh secara syar'i?
Jawabnya adalah bahwa langkah-langkah tersebut dapat ditempuh apabila pengambil-alihan kekuasaan itu diperbolehkan, karena telah diambil berdasarkan hukum-hukum syara'. Akan tetapi jika pengambil-alihan tersebut tidak boleh, karena bertentangan dengan Islam (seperti gambaran pertama pada pertanyaan sebelumnya, maka pertanyaan ini tentunya tidak perlu diajukan lagi.
Tetapi jika pengambil-alihan kekuasaan dibolehkan oleh syara', seperti gambaran kedua pada pertanyaan sebelumnya, maka pelaksanaannya harus dilakukan secara keseluruhan dan sekaligus. Langkah ini wajib ditempuh dan segera diupayakan untuk menerapkan seluruh peraturan dan hukum-hukum Syara', secara serentak pada waktu yang sama. Akan tetapi realita bagi sebagian hukum memerlukan persiapan dan langkah yang berkesinambungan yang mungkin membutuhkan waktu. Mempercepat pelaksanaan hukum-hukum semacam ini dapat digambarkan dengan adanya upaya yang segera ditempuh untuk melaksanakannya. Sebagai contoh suatu kelompok yang mendapat kursi terbanyak di parlemen dan diberi kesempatan untuk mengambil alih kekuasaan menegakkannya berdasarkan Islam, maka penentuan amir/kepala negara sementara sedikit banyak memerlukan waktu agar pimpinan gerakan tersebut berkesempatan berkumpul dan mengadakan rapat darurat. selalu bermusyawarah untuk menentuka siapa yang cocok menjabat sebagai kepala negara sementara.
Contoh lain, permintaan Kepala Negara sementara kepada angota-anggota Parlemen untuk mengubah undang-undang dasar yang berlaku dan mengumumkan Islam sebagai pengganti, mungkin saja memerlukan waktu, kemudian persiapan-persiapan untuk memilih Khalifah dan membai'atnya, juga memerlukan waktu. Setelah Khalifah dibai`at dan menerima kekuasaan, maka Ia akan merubah struktur pemerintahan untuk disesuaikan dengan struktur yang islami dan ini juga memerlukan waktu. Contoh-contoh yang lain, misalnya penghapusan semua perjanjian yang bertentangan dengan hukum Islam dan yang telah ditanda-tangani oleh negara sebelumnya dengan negara-negara lain juga memerlukan tempo waktu. Begitu pula hukum-hukum lain yang serupa ini, untuk menerapkannya juga diperlukan waktu.
Kendatipun demikian bukan berarti hukum-hukum tersebut dapat ditunda pelaksanaannya sembari menunggu situasi dan kondisi yang lebih memungkinkan; dan bukan berarti pula diterapkan secara bertahap dan mengulur-ulur waktu; melainkan harus segera dilaksanakan sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat Ridlwanullahi 'Alaihim, tatkala Rasulullah saw wafat. Dimana pada waktu itu mereka segera berusaha untuk membai`at seorang khalifah sebagai pengganti beliau. Usaha tersebut menghabiskan waktu sampai tiga hari sebelum akhirnya berhasil membai`at Abu bakar sebagai khalifah pertama. Hal ini disepakati oleh semua shahabat.
Oleh karena itu masalah-masalah yang pemecahannya memerlukan waktu yang banyak, maka usaha untuk menerapkannya harus serentak, tidak boleh ditunda sambil menunggu situasi dan kondisi yang memungkinkan. Juga diharamkan untuk menjalankan usaha tersebut secara bertahap dan mengulur-ulur waktu.
Sedangkan penentuan undang-undang merupakan wewenang Khalifah, bukan wewenang anggota-anggota majelis syura. Namun begitu khalifah boleh saja meminta pendapat para anggota majelis syura terhadap peraturan dan undang-undang yang ingin ditetapkan sebelum mengambil keputusan, sekalipun pendapat mereka tidak wajib ditaati oleh khalifah, sebab mereka tidak mempunyai hak dalam menentukan dan menetapkan hukum/undang-undang, karena hanya khalifahlah yang memiliki hak tersebut. Sikap ini didasarkan pada kaidah syara' yang berbunyi:
"Bagi seorang Sulthan dibolehkan mengambil keputusan hukum sesuai dengan masalah yang terjadi".
[bersambung]
Informasi Mailing List Syabab Hizbut Tahrir

Untuk Subscribe (Daftar ke Milis), kirim email ke :
Syabab-Hizbut-Tahrir-subscribe@yahoogroups.com


Untuk Unsubscribe (Keluar dari Milis), kirim email ke :
Syabab-Hizbut-Tahrir-unsubscribe@yahoogroups.com

Untuk Informasi Website, buka di :
http://groups.yahoo.com/group/Syabab-Hizbut-Tahrir
---------------------------------------------
Link resmi Hizbut Tahrir yang terkait :
1. www.al-islam.or.id (Indonesia) : Buletin Jum'at, Berita Aktual, Forum Diskusi (Fiqh, Web Site, Partai Politik), Al-Waie : Jurnal Dakwah dan Politik - Ekonomi, Kitab Islami

2. www.hizb-ut-tahrir.org (English, Arab) : Profil Partai Islam, Analisis Politik, Buku dan Leaflet Islam, Publikasi Fikroh Islami, Kajian Hukum Syara

3. www.khilafah.com (English) : Majalah Islam, Buku-buku Islam, Berita Dunia Islam, Pemikiran Islam, Jurnal Materi

4. www.ramadhan.org (English) : Informasi Shaum, Ceramah Ramadhan, Tafsir Al-Qur'an, Al-Hadits (Audio & Video), e-Cards, Screen Saver

5. www.al-aqsa.org (English) : Berita Aktual dari Palestina, Khutbah Jum'at Masjid Al-Aqsa

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus