Rabu, 04 Maret 2009

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia

Sumber tulisan: ceramah Ustad Aam Aminudin, Lc. di Sapporo, Jepang,
disarikan secara bebas oleh Sdr. Asep Tata Permana

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi
SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW,
dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu
pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi
imam di mesjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi
sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan
kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator
kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah),
sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah
nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur
sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun
yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan
keputusan Allah.
Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW
yaitu :
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari
kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan
memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya
dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel”
dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan
kemudahan yang lebih besar lagi.
Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan
keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai
imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri
dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri
bila memiliki
suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak
istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang
istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar
biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan
suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki
seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan
seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf
Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu
itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya
mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia
dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya
ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu
sisanya saya selalu menggendongnya” . Lalu anak muda itu bertanya: ”
Ya Rasulullah, apakah aku
sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh
Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi
anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”.
Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita
ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua
kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang
soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin
dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk
iman kita.
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh
mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib
kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap
keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita
untuk selalu bergaul dengan
orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu
mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat
salah.
Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat
iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya.
Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada
disekitarnya.
Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang
yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta
tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya
untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW
pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat
tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang
makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara
haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang
yang hartanya
halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal
juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin
bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya.
Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga
kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-
ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang
untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan
ciptaan-Nya.
Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin
ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya
kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya
bagi hatinya.
Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati
yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam
dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh
semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh,
yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang
mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya
akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa
mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power
syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya
menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap
kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila
ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan
orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk
akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia
untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan
bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk
meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh
harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya
seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang
yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya
baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator
kebahagiaan dunia.
Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah
indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk
memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan
se-khusyu’ mungkin membaca doa `sapu jagat’ , yaitu doa yang paling
sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa
tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya
Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa
kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan
dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur,
pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau
lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam
genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja
sudah patut kita syukuri.
Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil
aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”),
untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan
akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah.
Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk
surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.
Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap
hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket
masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur
hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan
Allah. Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak
bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat
bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab
Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para
sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk
surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya
karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.
Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya
bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan
rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah,
Amiin).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar